Rabu, 08 Februari 2012
Pengelolaan Keuangan Daerah
Indikasi telah terjadi pelanggaran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah, yang melibatkan sejumlah pejabat di Pemko Pematangsiantar, tampaknya semakin gamblang.
Bukan hanya melanggar PP 58 itu. Pengakuan salah seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas Bina Marga dan Pengairan Pemko Pematangsiantar, Aldi BS, bahwa beberapa PPK memanipulasi laporan pertanggungjawaban proyek, juga menubruk Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah.
Seperti diberitakan, beberapa PPK nekat memanipulasi data proyek. Mereka mengaku melakukan itu atas perintah Kepala Dinas (Kadis), untuk memenuhi persyaratan administrasi proses pencairan dana proyek dari kas negara.
Dimana letak pelanggarannya? Yang sudah jelas, memanipulasi pertanggungjawaban adalah satu bentuk pelanggaran tersendiri. Sedang pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM), juga melanggar aturan. Pasalnya, sesuai PP 58, penerbitan SPM tidak boleh sembarangan. Yakni, harus menguji kebenaran data yang diajukan PPK. Simak saja bunyi ketentuan di PP 58, tepatnya pasal 65 dan 66.
Pasal 65 ayat (1) menyatakan, pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.
Pasal 65 ayat (2), Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan SP2D oleh kuasa BUD. Pasal 65 ayat (3), Dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kuasa BUD berkewajiban untuk: (a). meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran, (b) menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam perintah pernbayaran, (c) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan, (d) memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran daerah, dan (e), menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 66 di PP 58 juga mengatur mekanisme pencairan uang. Pasal 66 ayat (1) menyebutkan, Penerbitan SPM tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal (2), Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat diberikan uang persediaan yang dikelola oleh bendahara pengeluaran.
Pasal (3), Bendahara pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya setelah: (a) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, (b) menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran, dan (c) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
Pasal (4) menyatakan, Bendahara pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran apabila persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi.
Pasal (5), Bendahara pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.
Sementara, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 juga mengatur hal teknis masalah ini. Antara lain di pasal 12 yang mengatur mengenai tugas Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) SKPD. Pasal 12 ayat (5) menyebutkan, PPTK mempunyai tugas mencakup: (a) mengendalikan pelaksanaan kegiatan, (b) melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan, dan (c) menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan.
Pasal 12 ayat (6) Permendagri itu menyatakan, Dokumen anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pakar pengelolaan keuangan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Reydonnyzar Moenek, sebelumnya sudah memberikan tanggapan kasus di Pemko Siantar ini.
Ditegaskan Donny, panggilan akrabnya, Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dari pejabat pelaksana teknis, harus diproses sesuai mekanisme. Penandatanganan Surat Perintah Membayar (SPM) boleh dilakukan setelah ada proses verifikasi sejumlah aspek.
Yakni, verifikasi kebenaran teknis anggaran, verifikasi kebenaran tujuan, verifikasi kebenaran orang atau lembaga yang menerima, verifikasi kebenaran adanya perintah dapat dilakukan pembayaran.
Jika proses verifikasi sudah dilakukan sesuai ketentuan, kata Kapuspen Kemendagri itu, barulah Kepala SKPD selaku pengguna anggaran boleh meneken SPM. “Intinya, tak ada uang yang bisa dikeluarkan tanpa proses verifikasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar